“Ihhh… Nazwa rajin sekali!” ucap
tetangga yang lewat depan rumah. Melihat kegiatan kami membersikan rumput liar di pekarangan rumah,
spontan pujian-pujian terlontar kepada buah hati saya Nazwa (6 tahun) dan Nizar
(2 tahun). Mereka terlihat sibuk bermain menggunting, menggali, mencabut dan
menyiram.
“Musim hujan kok disiram nak..nak..”
gerutu saya dalam hati.
“Aduhhh.. hati-hati mainan gunting” sapanya lagi. Saya hanya
membalas ke khawatirannya dengan senyuman, karena gunting yang di gunakan sudah
disesuaikan dengan usia anak-anak.
Peralatan wajib Nazwa-Nizar |
“Bu.. daunnya di
makan ulat.” Seru kakak menunjuk pada daun yang bolong sambil mengusap
tangannya karena gatal melihat bulu pada ulat.
“Ana teh?.. ana?..” sahut adik yang belum fasih
bicara. Nizar penasaran bagaimana bentuk ulat lalu
ikut meniru tindakan kakaknya. Didampingi ayah
Nazwa dan Nizar
mengamati bagaimana ulat berjalan dan cara ulat memakan daun.
Nazwa-Nizar sering meniru apa yang ibu dan
ayahnya lakukan, seperti berkebun saat akhir pekan. Bagi mereka rutinitas orang
dewasa seperti petualangan baru yang wajib di coba. Banyak pertanyaan lucu dari kakak seperti
kenapa strawberinya ada yg putih ada yang merah, kok awannya berjalan, kenapa
semut berbaris rapi, ih..kodoknya bunyi, batunya kok kasar sich, bulannya
kesiangan ya. Sementar Nizar hanya mengamati pertanyaan kakaknya.
Halaman
rumah bisa menjadi media alternatif belajar mengasah kemampuan motoriknya
melalui sentuhan, penglihatan dan pendengaran. Selain itu menumbuhkan kecintaan
dan peduli pada alam sekitar. Mengapa kita perlu menjaga kebersihan, mengapa
sampahnya dipisah-pisah.
“Caciiiiiing!” terika kakak sambil
jingkrak-jingkrak geli melihat cacing mengeliat keluar dari tanah yang di gali.
“Ih..atut ndzan mah”, begitu adik menyebut dirinya.
Ketika kami sedang mengumpulkan
gundukan rumput liar Nazwa berkata “Nanti kalau sudah selesai tolong beri tanda
ceklist di lebar tugas ya Bu?”. Tidak hanya di rumah di sekolah Nazwa juga
diajari memisahkan sampah basah dan sampah kering. Orang tua diminta konsinten
menerapkannya juga di rumah, jauh sebelum diminta pihak sekolah kami sudah melakukannya.
Niat awalnya sich mau berbagi kepada pemulung dengan memisahkan sampah berupa
botol plastik, kaleng dan kertas. Sampah ini bisa mereka jual untuk didaur
ulang. Sementara sampah basah tinggal dikubur, bim salabim… jadilah pupuk
organik. Uwahhh…Strawberinya berbuah banyak.
Sulit
menjelaskan kepada buah hati saya kenapa dan mengapa ini terjadi? Biarkan
mereka sendiri menjawab dengan caranya yang mudah dimengerti melalui cara
sederhana yaitu bermain.
Tulisan ini di ikut sertakan dalam Lomba Blog Nakita