http://microsite.tabloid-nakita.com/blogcompetition/

Rabu, 18 Desember 2013

Selamatkan Bumi Dari Rumah

“Ihhh… Nazwa rajin sekali!” ucap tetangga yang lewat depan rumah. Melihat kegiatan kami  membersikan rumput liar di pekarangan rumah, spontan pujian-pujian terlontar kepada buah hati saya Nazwa (6 tahun) dan Nizar (2 tahun). Mereka terlihat sibuk bermain menggunting, menggali, mencabut dan menyiram.
“Musim hujan kok disiram nak..nak..” gerutu saya dalam hati.
 “Aduhhh.. hati-hati mainan gunting” sapanya lagi. Saya hanya membalas ke khawatirannya dengan senyuman, karena gunting yang di gunakan sudah disesuaikan dengan usia anak-anak.
Peralatan wajib Nazwa-Nizar

“Bu.. daunnya di makan ulat.” Seru kakak menunjuk pada daun yang bolong sambil mengusap tangannya karena gatal melihat bulu pada ulat.
 “Ana teh?.. ana?..” sahut adik yang belum fasih bicara. Nizar penasaran bagaimana bentuk ulat lalu ikut meniru tindakan kakaknya. Didampingi ayah Nazwa dan Nizar mengamati bagaimana ulat berjalan dan cara ulat memakan daun.
            Nazwa-Nizar sering meniru apa yang ibu dan ayahnya lakukan, seperti berkebun saat akhir pekan. Bagi mereka rutinitas orang dewasa seperti petualangan baru yang wajib di coba. Banyak pertanyaan lucu dari kakak seperti kenapa strawberinya ada yg putih ada yang merah, kok awannya berjalan, kenapa semut berbaris rapi, ih..kodoknya bunyi, batunya kok kasar sich, bulannya kesiangan ya. Sementar Nizar hanya mengamati pertanyaan kakaknya.


 


Halaman rumah bisa menjadi media alternatif belajar mengasah kemampuan motoriknya melalui sentuhan, penglihatan dan pendengaran. Selain itu menumbuhkan kecintaan dan peduli pada alam sekitar. Mengapa kita perlu menjaga kebersihan, mengapa sampahnya dipisah-pisah.
“Caciiiiiing!” terika kakak sambil jingkrak-jingkrak geli melihat cacing mengeliat keluar dari tanah yang di gali.
“Ih..atut ndzan mah, begitu adik menyebut dirinya.

Ketika kami sedang mengumpulkan gundukan rumput liar Nazwa berkata “Nanti kalau sudah selesai tolong beri tanda ceklist di lebar tugas ya Bu?”. Tidak hanya di rumah di sekolah Nazwa juga diajari memisahkan sampah basah dan sampah kering. Orang tua diminta konsinten menerapkannya juga di rumah, jauh sebelum diminta pihak sekolah kami sudah melakukannya. Niat awalnya sich mau berbagi kepada pemulung dengan memisahkan sampah berupa botol plastik, kaleng dan kertas. Sampah ini bisa mereka jual untuk didaur ulang. Sementara sampah basah tinggal dikubur, bim salabim… jadilah pupuk organik. Uwahhh…Strawberinya berbuah banyak.

            Sulit menjelaskan kepada buah hati saya kenapa dan mengapa ini terjadi? Biarkan mereka sendiri menjawab dengan caranya yang mudah dimengerti melalui cara sederhana yaitu bermain. 

Tulisan ini di ikut sertakan dalam Lomba Blog Nakita

Senin, 16 Desember 2013

“Help me”

Mungkin ada beberapa momy yang mengalami hal sama seperti saya. Ibunya pulang dengan sedikit tenaga yang diniatkan untuk nemenin anak-anak bermain itu pun nyambi nyuci baju yang sudah menggunung. Belum lagi cucian piring pagi tadi yang tidak sempat di bersihkan saat menyiapkan sarapan.
Sementara anak-anak aktif bermain dengan tenaga yang kian malam kian full, entah kapan mereka sempat me re-charge energinya. “Help me!” teriak saya. Supaya kegiatan ngasuh dan beres-beres berjalan lancar, biasanya saya meminta bantuan ayahnya dan pengasuh setia TV Chanel khusus anak-anak. Maklum TV lokal sekarang perlu bimbingan orang tua yang artinya saya juga harus ikut stand by depan tv.
Namun ternyata berlama-lama di depan televisi tidak baik bagi konsentrasi anak meskipun tayangan yang disuguhkan sangat edukatif. Konon katanya interaksi yang maksimal harus terjadi dua arah sementara televisi hanya terjadi satu arah. Huft… Tarik nafas dalam-dalam ubah gaya parenting lagi.
Kemudian atur strategi ijinkan anak-anak bermain dengan benda yang mereka inginkan tanpa mengabaikan ke amanan lingkungan. Biarkan naluri mereka berekplor walaupun bikin kepala cenat cenut melihat seisi rumah bertebaran dimana-mana. Tapi cukup membuat kakak adik ini mengabaikan acara televisi yang tetap menyala sejak kami datang.
 Butuh trik agar tv yang menyala dimatikan secara suka rela tanpa diprotes. Biasanya kedua anak saya akan mengikuti apa yang di lakukan kedua orang tuanya. Ngintil di belakang ibu atau ayahnya. Pun saat saya beres-beres.
“Boleh Nazwa bantu?”, seru kakak.
Di tambah adik yang kepo (kata anak muda jaman sekarang) pada kakak. Padahal tak ada satu pekerjaan rumah yang benar-benar mereka bantu, alasan yang selalu di lontarkan hanya untuk sekedar bisa main air ketika sedang mencuci piring atau ngobok-ngobok air sabun pada mesin cuci.
Nah.. biasanya saya ambil buku cerita “siapa yang mau di bacaain buku cerita?”,ajak saya. Nazwa (6 tahun) dan Nizar (2 tahun) sangat senang jika di bacakan buku cerita. Walaupun kakak sudah bisa baca tulis namun baginya dibaca kan lebih seru. Menurutnya dapat membayangkan dan merasakan kondisi yang ada dalam cerita jika dibacakan. Perlahan saya meminta anak-anak mematikan televisi, dengan senang hati televisi di matikan.
Ternyata mengubah kebiasaan itu tidak mudah, meskipun awalnya mendapat perlawanan dari anak dan ayahnya namun dengan memberi sedikit pengertian dan konsisten menjalankannya kita pasti bisa. Anak-anak bukan hanya perlu di ajari tapi mereka juga tempat kita belajar. Belajar bersabar, barsabar menanti ibu dan ayahnya pulang untuk bermain. Belajar berpikir dan berbuat positif karena anak kita tidak di karuniai rasa putus asa.